Capping Day & Sejarah Florence Nigthangle
Capping Day adalah Hari Pemasangan Cap/ Topi Perawat kepada seluruh
mahasiswa tingkat I yang menyelesaikan studi semester I dan akan
menempuh studi di semester II sebagai simbol bahwa para mahasiswa &
mahasiswi Akademi Keperawatan Adi Husada telah siap praktek lapangan ke
Rumah Sakit dan Puskesmas, setelah mendapatkan materi dan teori serta
praktek di laboratorium keperawatan di semester I. Capping Day merupakan
langkah awal bagi para calon perawat untuk dapat bekerja melayani
pasien penuh dengan cinta kasih seperti yang diajarkan oleh Tokoh
Perawat "Florence Nigthangle".
SEJARAH Florence Nightingale
Florence
Nightingale (lahir di Florence, Italia, 12 Mei 1820 - meninggal di
London, Inggris, 13 Agustus 1910 pada umur 90 tahun) adalah pelopor
perawat modern, penulis dan ahli statistik.[1] Ia dikenal dengan nama
Bidadari Berlampu (bahasa Inggris The Lady With The Lamp) atas jasanya
yang tanpa kenal takut mengumpulkan korban perang pada perang Krimea, di
semenanjung Krimea, Rusia. Florence Nightingale menghidupkan kembali
konsep penjagaan kebersihan rumah sakit dan kiat-kiat juru rawat. Ia
memberikan penekanan kepada pemerhatian teliti terhadap keperluan pasien
dan penyusunan laporan mendetil menggunakan statistik sebagai
argumentasi perubahan ke arah yang lebih baik pada bidang keperawatan di
hadapan pemerintahan Inggris.
Masa kecil
Florence Nightingale
lahir di Firenze, Italia pada tanggal 12 Mei 1820 dan dibesarkan dalam
keluarga yang berada. Namanya diambil dari kota tempat ia dilahirkan.[2]
Nama depannya, Florence merujuk kepada kota kelahirannya, Firenze dalam
bahasa Italia atau Florence dalam bahasa Inggris.
Semasa kecilnya ia
tinggal di Lea Hurst, sebuah rumah besar dan mewah milik ayahnya,
William Nightingale yang merupakan seorang tuan tanah kaya di
Derbyshire, London, Inggris. Sementara ibunya adalah keturunan ningrat
dan keluarga Nightingale adalah keluarga terpandang. Florence
Nightingale memiliki seorang saudara perempuan bernama Parthenope.
Pada
masa remaja mulai terlihat perilaku mereka yang kontras dan Parthenope
hidup sesuai dengan martabatnya sebagai putri seorang tuan tanah. Pada
masa itu wanita ningrat, kaya, dan berpendidikan aktivitasnya cenderung
bersenang-senang saja dan malas, sementara Florence lebih banyak keluar
rumah dan membantu warga sekitar yang membutuhkan.
Perjalanan ke Jerman
Pada
tahun 1846 ia mengunjungi Kaiserswerth, Jerman, dan mengenal lebih jauh
tentang rumah sakit modern pionir yang dipelopori oleh Pendeta Theodor
Fliedner dan istrinya dan dikelola oleh biarawati Lutheran (Katolik). Di
sana Florence Nightingale terpesona akan komitmen dan kepedulian yang
dipraktekkan oleh para biarawati kepada pasien. Ia jatuh cinta pada
pekerjaan sosial keperawatan, serta pulang ke Inggris dengan membawa
angan-angan tersebut.
Belajar merawat
Pada usia dewasa
Florence yang lebih cantik dari kakaknya, dan sebagai seorang putri tuan
tanah yang kaya, mendapat banyak lamaran untuk menikah. Namun semua
itu ia tolak, karena Florence merasa "terpanggil" untuk mengurus hal-hal
yang berkaitan dengan kemanusiaan. Pada tahun 1851, kala menginjak usia
31 tahun, ia dilamar oleh Richard Monckton Milnes seorang penyair dan
seorang ningrat (Baron of Houghton), lamaran inipun ia tolak karena
ditahun itu ia sudah membulatkan tekad untuk mengabdikan dirinya pada
dunia keperawatan.
Ditentang oleh keluarga
Keinginan ini
ditentang keras oleh ibunya dan kakaknya. Hal ini dikarenakan pada masa
itu di Inggris, perawat adalah pekerjaan hina dan sebuah rumah sakit
adalah tempat yang jorok. Banyak orang memanggil dokter untuk datang ke
rumah dan dirawat di rumah.
Perawat pada masa itu hina karena:
Perawat disamakan dengan wanita tuna susila atau "buntut" (keluarga tentara yang miskin) yang mengikuti kemana tentara pergi
Profesi perawat banyak berhadapan langsung dengan tubuh dalam keadaan
terbuka, sehingga dianggap profesi ini bukan profesi sopan wanita
baik-baik dan banyak pasien memperlakukan wanita tidak berpendidikan
yang berada di rumah sakit dengan tidak senonoh.
Perawat di Inggris pada masa itu lebih banyak laki-laki daripada perempuan karena alasan-alasan tersebut di atas.
Perawat masa itu lebih sering berfungsi sebagai tukang masak.
Argumentasi
Florence bahwa di Jerman perawatan bisa dilakukan dengan baik tanpa
merendahkan profesi perawat patah, karena saat itu di Jerman perawat
juga biarawati Katolik yang sudah disumpah untuk tidak menikah dan hal
ini juga secara langsung melindungi mereka dari perlakuan yang tidak
hormat dari pasiennya. Walaupun ayahnya setuju bila Florence membaktikan
diri untuk kemanusiaan, namun ia tidak setuju bila Florence menjadi
perawat di rumah sakit. Ia tidak dapat membayangkan anaknya bekerja di
tempat yang menjijikkan. Ia menganjurkan agar Florence pergi
berjalan-jalan keluar negeri untuk menenangkan pikiran. Tetapi Florence
berkeras dan tetap pergi ke Kaiserswerth, Jerman untuk mendapatkan
pelatihan bersama biarawati disana. Selama empat bulan ia belajar di
Kaiserwerth, Jerman di bawah tekanan dari keluarganya yang takut akan
implikasi sosial yang timbul dari seorang gadis yang menjadi perawat dan
latar belakang rumah sakit yang Katolik sementara keluarga Florence
adalah Kristen Protestan. Selain di Jerman, Florence Nightingale juga
pernah bekerja di rumah sakit untuk orang miskin di Perancis.
Kembali ke Inggris
Pada
tanggal 12 Agustus 1853, Nightingale kembali ke London dan mendapat
pekerjaan sebagai pengawas bagian keperawatan di Institute for the Care
of Sick Gentlewomen, sebuah rumah sakit kecil yang terletak di Upper
Harley Street, London, posisi yang ia tekuni hingga bulan Oktober 1854.
Ayahnya memberinya £500 per tahun (setara dengan £ 25,000 atau Rp. 425
juta pada masa sekarang), sehingga Florence dapat hidup dengan nyaman
dan meniti karirnya. Di sini ia beragumentasi sengit dengan Komite Rumah
Sakit karena mereka menolak pasien yang beragama Katolik. Florence
mengancam akan mengundurkan diri, kecuali bila komite ini mengubah
peraturan tersebut dan memberinya izin tertulis bahwa; "rumah sakit akan
menerima tidak saja pasien yang beragama Katolik, tetapi juga Yahudi
dan agama lainnya, serta memperbolehkan mereka menerima kunjungan dari
pendeta-pendeta mereka, termasuk rabi, dan ulama untuk orang Islam"
Komite Rumah Sakit pun mengubah peraturan tersebut sesuai permintaan
Florence
Perang Krimea
Pada 1854 berkobarlah peperangan di
Semenanjung Krimea. Tentara Inggris bersama tentara Perancis berhadapan
dengan tentara Rusia. Banyak prajurit yang gugur dalam pertempuran,
namun yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak adanya perawatan untuk
para prajurit yang sakit dan luka-luka. Keadaan memuncak ketika seorang
wartawan bernama William Russel pergi ke Krimea. Dalam tulisannya untuk
harian TIME ia menuliskan bagaimana prajurit-prajurit yang luka
bergelimpangan di tanah tanpa diberi perawatan sama sekali dan bertanya,
"Apakah Inggris tidak memiliki wanita yang mau mengabdikan dirinya
dalam melakukan pekerjaan kemanusiaan yang mulia ini?". Hati rakyat
Inggrispun tergugah oleh tulisan tersebut. Florence merasa masanya telah
tiba, ia pun menulis surat kepada menteri penerangan saat itu, Sidney
Herbert, untuk menjadi sukarelawan. Pada pertemuan dengan Sidney Herbert
terungkap bahwa Florence adalah satu-satunya wanita yang mendaftarkan
diri. Di Krimea prajurit-prajurit banyak yang mati bukan karena peluru
dan bom, namun karena tidak adanya perawatan, dan perawat pria jumlahnya
tidak memadai. Ia meminta Florence untuk memimpin gadis-gadis
sukarelawan dan Florence menyanggupi. Pada tanggal 21 Oktober 1854
bersama 38 gadis sukarelawan yang dilatih oleh Nightingale dan termasuk
bibinya Mai Smith,[3] berangkat ke Turki menumpang sebuah kapal.
Posting Komentar